Saturday, March 24, 2012

Alam Kita atau Alam Kami?

Saya sudah pernah naik gunung, menyusuri Kali Ciliwiung, memanjat Tebing Ciampea, kemah di hutan, snorkeling, dan diving.

Saya melihat banyak hal indah. Mengenali keterbatasan tubuh ini, dan pernah juga merasa hampir “habis”. Nyasar, pertengkaran, kehawatiran, dan egoisme sudah sering kami hadapi. Ya kami, saya dan teman-teman seperjalanan.

Ada orang yang berpetualang jauh lebih banyak dan lebih ekstrim dari saya. Banyak juga yang sudah pernah mengalaminya meskipun dalam tema wisata. Namun banyak pula yang cuma melihat dan mendengarkan. Mereka tidak keluar dari tempatnya, bertualang ke tempat baru, meski ingin. Atau ada juga yang tidak ingin pergi sama sekali. Titik. Saya penakut, tapi untung mempunyai teman-teman yang memaksa saya untuk ikut.

Dalam perjalanan kami tidak mencari kenyamanan. Simple, karena kenyamanan butuh uang lebih. Sedangkan kami? Hehe. Lagian udah biasa kali nahan laper ngga makan siang atau makan pake menu seadanya untuk nabung buat jalan2. Masak sedikit ketidaknyamanan mengganggu kami?

Saya menikmati pencapaian atas perjalanan. Ketika sampai puncak gunung, ujung wall climbing, selesai! Tapi enggak. Hidup bukan film yang begitu sampe tujuan semua berakhir bahagia. Karena kita mesti turun gungung dengan kondisi lelah, kekurangan bekal, gak mandi berhari-hari (oke ini ga ganggu amat sebenernya), menghadapi dan memelihara kawanan. Bagaimana senang dan jadiin setiap pengorbanan menjadi berarti.
Dalam cerita setelah perjalanan apa yang akan diceritakan? Puncak gunungnya? Bagaimana puncaknya? Rasa senangnya? 5 menit terlalu lama untuk menceritakan itu semua, kawan. Apa yang menjadi cerita panjang adalah proses. Proses sebelum dan sesudahnya. Bagaimana manajemen perjalanan, bagaimana teman-teman, bagimana jalurnya, bagaimana “penampakan-penampakannya”. Itu bagian dari kesenangannya.

Dan sedikit kata hati yang tidak dianggap berarti: “jangan ceritakan ini, agar tidak lebih banyak orang datang kembali. Alam mesti dijaga dan dinikmati untuk cucu-cucu keturunan kita nanti.”

Sekali lagi. Pameran dan cerita berlebihan lebih memuaskan dibanding menyimpan sendiri kecantikan yang baru dinikmati.

Saya belajar naik gunung, biarpun ga banyak. Tapi masih menyisakan sampah dan pohon tertebas dan akar-akar tercabut tidak berguna. Saya mendapat izin menyelam, tapi kelompok selam kami masih merusak terumbu karang dengan sengaja atau tidak sengaja- tapi tidak peduli-.

Kita menikmati, tapi menghancurkan. Kenapa? Apa karena merasa tidak memiliki?

Barusan ngeliat NatGeo Wild. Penyiarnya berenang bersama Hiu Paus, namun dia ngga menyentuhnya meski mampu. “Kalo semakin banyak orang ke Djibouti untuk berenang dengan pegangan pada sirip hiu paus, maka suatu saat hiu paus tidak akan kembali lagi sesuai pola alaminya”. (yah kira2 gitu. Ini juga artiannya dari subtitle)

Hormat.

Sama Natgeo. Mereka ga cuma merekam dengan baik, tapi juga tetap menjaga sealami mungkin. Naik kapal boat juga udah ngeluarin asap sama minyak-minyak di laut, tapi dijaga cuma itu aja sebagai bagian dari usaha. Dan itu ada dalam kesadaran personilnya. (Ini sih saya sok tau aja biar keren)

Sering kali saya ke bumi perkemahan. Tapi penjaga hutannya ga bener2 care.

Mereka sama personil Natgeo jangan disamain, Lam. Gaji aja beda.

Iyohai, tapi sikap dasar dan pendidikan kepedulian itu yang saya soroti.

Jangan ambil apapun kecuali foto, jangan tinggalkan apapun kecuali jejak. Dan jangan apalagi deh, lupa saya.

Denger-denger tebing panjat Ciampea udah mulai terancam sama tambang kapur; saya juga ga yakin adanya burung Dodo; buah Maja yang pahit dan melegenda itu bagaimana bentuknya ya? Jalan menteng, jalan cerme, jalan bintaro, itu nama buah? Anak SD zaman sekarang gak kenal kali! Dan beberapa tahun lagi anak-anak SD cuma tau Indonesia pernah paru-paru dunia tapi enggak lagi karena hutan udah dibabat semua; sungai itu bukan sumber kehidupan karena begitu tercemarnya; apa itu macan? Dan pertanyaan lainnya yang umum sekarang tapi udah kayak membayangkan bentuk dinosaurus nantinya. Anak-anak mungkin cuma bisa mengulangi menyebut indahnya nama: te-rum-bu ka-rang. Dan membayangkan melalui gambar warna-warni kartun poster-poster lingkungan. Karena itu semua sudah tidak ada. “Terumbu karang warnanya putih, eyang! Aku lihat sendiri!”


Tabik!
Ilham.