Monday, December 17, 2012

Gw Berharap Alam Tetaplah Alam, Bukan Objek Wisata

Gw senang akan alam yang indah, asri, tenang, alami, liar, murni.

Tapi biarkanlah ia di sana, tak terjamah.

Mungkin lebih baik kita ngga tahu juga itu ada.

Biarlah laris manis film horor uka-uka. Biar pada jalan2 ke kuburan. Biarlah ga ada film sinetron alam raya.

Nanti alam kita diserbu warga kota.
Yang ngga tau adat, ngga tau adab.
Dunia miliknya, peraturan dibuatnya.
Dateng modalnya duit aja, pengalaman ga ada, pengetahuan ga ada.

Alamikah, liarkah, murnikah, masihkah tak terjamah ketika alam diduduki manusia?
Itu jadi tempat wisata.
Yang harus ada tukang kebersihan.
Tukang layani.
Tukang loket.
Sehingga mereka merasa membayar, lalu berbuat sesukanya.

Kukira keriput, rupanya jalur pendakian yang makin nyata.
Kukira flek di wajahmu, ternyata sampah2 yang ketinggalan.
Kukira uban, ternyata terumbu karang mati memutih terinjak2.
Kukira... kamu semakin tua, dan kami tak juga dewasa.

Takdir

Percayakah kau akan takdir?
Memang ada hal2 yang ngga bisa kita pilih. Itu jadi takdir yang kita pasrahkan. Namun ada hal2 yang bisa diubah oleh usaha kita, takdir yang diusahakan. Mari berusaha!

Bahasan Lajang Usia 20an, Apalagi Kalo Bukan Nikah!

Banyak temen gw yang jomblonya seumur hidup, tapi giliran dapet pacar, pacaran sebentar langsung nikah. Gw cuma ber-wow aja. Dan geli2 lucu kalo udah mulai nyerempet2 ngomongin yang-itu-tuuh... Haha, ga pernah sentuhan, tau2 pengalamannya langsung tingkat dewa. Itulah indah pada waktunya, gw rasa. Banyak juga yang pacaran mulu, ada yang sebentar ada yang lama, tapi ga nikah2. Apa saking seringnya jadi terlalu ahli pacaran? Takut keluar zona nyaman? Hehe

Bicara pernikahan semakin krusial ketika usia bertambah. Di saat teman sebaya sudah banyak mengakhiri status lajang, single fighter mulai ketar-ketir ketika ditanya kapan nikah. Gimana engga, karena TIAP KETEMU ORANG DITANYA GITU MULU. Ini bukan curhat gw, sih.

Buat cowok, nikah itu pilihan. Kapan cewek mau milih dia, ya jadi. Hahak! Bukan gitu ding, menurut gw, buat seorang cowok, ketika usia bertambah, karir mendaki, bisalah dia punya banyak pilihan. Tapi buat wanita, ketika dalam kondisi tersebut, pilihannya malah jadi semakin sedikit. Yang sejajar levelnya udah pada nikah, paling top duda. Yang di bawah keburu minder duluan.

Semakin ke sini, semakin tua usia menikahnya. Gampangnya, ambil aja tiga generasi keluarga kita. Nenek nikah usia belasan (14 - 16) tahun, ibu 20-an awal, nah kita 25 taun juga masi ga siap dengan pernikahan.

Menurut gw (lagi), menikah itu emang sulit untuk siap. Apa yang harus disiapin? Harta? Kayaknya susah usia 20an udah siap rumah & kendaraan pribadi, plus karier mapan, gaji besar/pengusaha sukses, hidup di kota. Mungkin kalo ortu kaya raya. Hati? Ego?

Kata orang, sih, menikah itu kayak membangun rumah. Mesti dimulai. Seiring berjalannya waktu kita tempatin tu rumah sambil dilengkapin isinya.

Menikah itu, tanggung jawab. Mana ada ya orang suka rela ambil tanggung jawab yang bisa dia hindari. Nah, itulah bedanya orang yang berani nikah sama yang engga. Berani bertanggung jawab.

Ada yang bilang orang nikah itu karena takut. Takut hidup sendiri, takut ga ada yang ngurusin, dan takut lainnya. Apa gw membantah itu? Enggak. Itu alamiah. Dan tapi mereka ngga nyadar mereka ada karena orang tua mereka berkomitmen dalam pernikahan, bahwa ilmu, kesehatan, kesenangan, dan kemampuan berpikir kritis mereka itu difasilitasi orang yang menikah. Apakah ketakutan akan sendiri mampu menciptakan rasa cinta dan rela berkorban segitunya?

So, buat cowok2, jangan tega2 kelamaan ngasih harapan kebahagiaan ke anak orang, wujudkanlah itu.
Buat cewek2, jangan mau dikasih harapan palsu. Sayang pipi diciumin abis itu ditinggalin. Lah kalo cuma pipi, kalo yang lain? #ngacirrr

Thursday, December 13, 2012

Ah, teori!

Menjadi mahasiswa kembali.

Setelah bekerja sekian tahun, gw sekolah lagi, fulltime.

Adakah beda?
Jelas beda. Paling engga, setiap ilmu yang kita pelajari sekarang ga mengawang2 kayak waktu kuliah sebelumnya.

Dan itu menjadi masalah ketika pengajar kita fulltime akademisi. Dari lulus kuliah sampe sekarang akademisi. Ga ada yang salah dengan itu, tapi ada beberapa kekurangan, menurut gw.

Yang paling utama, ketika ditanyakan dengan simulasi kasus nyata yang rada nyeleneh, kadang suka gelagapan. Karena teori itu kan perfect condition, atau paling ekstrim ceteris paribus. Sedangkan dunia nyata banyak bgt variabelnya.

Apa mesti akademisi juga (pernah jadi) praktisi? Atau akademisi perlu mendapat kurikulum praktik kerja?

Eniwei, teori itu ada karena realitas di dunia, kan ya? Tapi kenapa sering kali kita sangat terpaku pada teori? Logika teori menurut gw adalah pemahaman paling dasar. Jadi ketika suatu teori udah usang, kita bisa pakai rumusan baru, ga terpaku sama teori awalnya. Inget kan iklan taun 90an apa tuh, yang ada line "Ah, teori!" kena bangat dah.

Hey! Kenapa begitu benci pada teori? Apakah itu terlalu sulit dipahami? Atau kamu merasa terpenjara?

Begitu jugakah peraturan? Eh!

N.b. Kok jadi random ni bahasan

12 - 12 - 12 sekarang 14 - 12 - 12

14 Desember, sekarang. Yang lalu kita heboh dengan ramalan kiamat 12-12-12. Terbuktikah? Tidak.
Dasarnya adalah kalender Suku Maya yang habis di tanggal 12-12-12 kalender masehi. Buat info, Suku Maya itu punya banyak jenis kalender dengan periode yang bermacam2. Gampangnya diasosiasikan dengan kalender masehi yang punya hitungan hari, minggu, bulan, dan tahun. Nah pas kebetulan aja salah satu kalendernya yang berperiode ribuan tahun berakhir di tahun 2012 masehi ini. (soal jenis, nama, periode, dll kalender Suku Maya, silahkan googling aje ye..)

Dari sini aja udah salah kaprah. Kalo ternyata ada kalender yg lebih lama lagi, lalu gimana validitas kalender ini? Lagian itu cuma kalender thok. Ga ada analisis akan terjadi ini itu bla bla bla. Cuma orang iseng aja yang nambah2in analisis akan terjadinya badai matahari, tabrakan planet, dll. Sekarang kemana tu narasumber dan media yang gembar-gemborin?

Ingatkah tahun 2000 lalu kita juga digosipkan bakal kiamat? Tahukah tahun2 sebelumnya udah ada berita akan adanya kiamat? Namun ngga ada yang terbukti. Untuk tahun 2000 kalo ngga kiamat, juga digosipkan akan terjadi kekacauan sistem komputer karena sistem penanggalan beralih dari 19xx menjadi 20xx. Yang lebih ekstrim, ane lupa tahunnya, satu sekte bunuh diri massal menghadapi kiamat.

Harusnya kita menyadari satu hal. Ada perbedaan mendasar disini. Kiamat itu ciptaan Tuhan. Sedangkan kalender itu ciptaan manusia. Jadi lucu kan sesuatu yang bertepatan dengan ciptaan dari ciptaan disamakan dengan ciptaan Pencipta.

Manusia hanya dikasih tanda-tanda, tapi ga pernah tau kapan kiamat terjadi.

Apa yang kau takutkan? Kiamat atau kematiannya?
Apa yang kau takutkan dari kematian? Tidak bisa bersenang2? Tapi saat mati, jangankan kesenangan, jiwa aja ngga kau punya, gimana bisa merasa?
Apa karena takut akhirat? Orang takut biasanya karena belum siap.

Oalah, gw sampe nulis post duabelas ini, jijay juga. Hahah.

Monday, December 10, 2012

Naik Gunung Sekarang? Capek mblo.

Naik gunung. Itu kesenangan masa lalu saya.
Sekarang emangnya udah ga senang?
Masih kok. Cuma sudah banyak berubah. Dulu, naik gunung itu kebanggaan, gengsi, pembuktian. Untuk apa?
Kekuatan? Padahal gw sadar banyak yang lebih kuat.
Tahan susah? Banyak yang di dunia nyata hidupnya lebih susah dan berhasil.
Berani? Berani naik gunung, tapi ikut lomba ga berani, public speaking ga berani, lawan ketidakadilan ga berani.
Mencintai alam? Nih, buat gua ya, kalo lo cinta alam, udah deh ga usah sering2 senang2 naik gunung. Lebih banyak merusaknya. Binatang pada takut karena lo berisik, tanaman pada mati lo injekin, pohon pada tumbang lo tebangin bikin shelter dan kayu bakar, sampah2 berserakan yang males lo bawa turun itu mencemari hutan.
Tapi dari naik gunung itu gw menemukan diri sendiri. Biarpun berangkat rame2, lo bener2 bertarung dengan diri sendiri.
Bagaimana biar tetap jaga kekompakan meskipun capek banget udah males mikir.
Bagaimana lo menyadari hangatnya rumah, enaknya masakan mama, empuknya kasur, dan jam berapapun lo mau, lo bisa tidur. DAN LO MEMILIH CAPEK2 NAEK GUNUNG SAMA TEMEN2 KAMPRET LO INI.
Dan bagaimana uang ga bernilai di tengah hutan. Ga ada Mc D ketika lo laper, jangankan pesan antar, sinyal aja ilang2an.

Makanya gw suka "alay lo" buat orang yang sombong bangga atas keberhasilannya mendaki banyak, tinggi,dan jauhnya gunung. Is thats all you got from hiking? Man, banyak gunung yang lo daki, pola pikir lo masih anak mamih. Menurut gw, pola pikir pendaki sejati ya mesti yang humble, sedia membantu. Karena dia tau hidup itu tidak mudah dan kita bisa mati kapan saja, bahkan kehujanan bisa membunuh kita.

Makanya gw pengen getok temen gw yang ceritanya (kalau itu benar) naik gunung celana pendekan sendal jepitan dan bawa barang overload. Janganlah meremehkan kekuatan alam.
Lo baru aja selamet dari satu lobang. Kita ga tau lobang keberapa lo tinggal diam ga bisa kita ajak bercanda.

Hidup kita itu sudah nyaman.

Masa kita ga bisa mencapai limit manfaat terbaik saat suasana mendukung?

Jarang Menang

Kemenangan itu menyenangkan, ternyata. Nomor satu memorable.

Gw, sebagai orang yang lebih seneng mundur teratur untuk menghindari konflik, jarang merasakan kepuasan karena menang. Sense of winningnya kurang.

Ketika belajar terlalu serius, di-cie-cie-in, eh ga belajar deh. Akhirnya? Ketinggalan, males ngejar, memble.

Kalo maen game juga gitu, giliran menang, lawan mulai misuh2, ga nyaman, i wanna fun. Ga jago2. Kalah mulu.

Olah raga juga gitu. Emang dasarnya payah sih. Hehe... Oke sejak kuliah gw rutin badminton tiap minggu, dan sering banget kalah. Ternyata, kalahan itu ngga seru. Ngga dianggap seru juga sama orang2.

Ketika lalu main bowling dan start bareng2 sebagai awam, gw bisa menang. Ternyata, kemenangan itu bisa jadi senjata ketika kekalahan badminton datang beruntun. Haha.

Kemenangan itu asik, menarik, dan candu. Tentu saya mau lagi seterusnya. Tapi apalah saya kalo sampai sombong.

(oya, kalimat "Apalah saya" itu pertama kali baca di bio twitternya YYR, kawan kerja. Salah satu bio paling oke buat gw.)

Reporting of Intangible Assets

Metode pembelajaran kuliah akuntansi menengah 1 kemarin adalah diskusi kelompok. Dalam satu bab dibagi 10 kelompok yang menjelaskan per tujuan pembelajaran/learning objectives (LO). Bab yang dibahas adalah Intagible assets (IA) dan LO yang kami bahas reporting of intangible assets.

Ada pertanyaan menarik dari kawan kami, Rodhi, mengenai teori akuntansi. Mengapa penyajian IA dalam neraca tidak menyertakan akun accumulated amortization sebagai contra accountnya, tidak seperti akun tangible assets yang menyajikan accumulated depreciation dalan neraca (sehingga historical value tangible assets tetap muncul).

Jujur aja, ini pertanyaan yang belum kami persiapkan jawabannya (males nyari), akhirnya dijawablah berdasarkan opini, bahwa historical value pada tangible assets dimunculkan sebagai dasar perhitungan bila ada penilaian kembali aset berdasarkan fair value-nya. Selisihnya sebagai gain/loss. Sedangkan IA, karena penetapan nilainya berdasarkan proses dalam perusahaan sendiri (berdasarkan biaya riset dan pengembangan), sehingga di masa depan tidak dinilai fair valeunya, maka amortisasi langsung mengurangi cost of IA. Meskipun tidak umum, penyajian acccumulated amortization dapat dilakukan.
Bila ada pertanyaan kemudian, mungkin kami akan nyerah karena ada yang mengganjal di hati.

Bila benar pernyataan saya, maka bagaimana suatu perusahaan media cetak atau lembaga survey atau BANK melakukan penilaian atas database konsumen/narasumber/pemakai kartu kreditnya? Apakah dari biaya pengumpulannya atau dari harga pasarnya ketika dijual ke pihak luar?

Kayaknya saya mesti lebih banyak belajar dan memperdalam ilmu lagi, lets stick this post. Suatu saat saya nemu jawaban yang meyakinkan/benar secara teori, akan diupdate.
Task to do: belajar teori akuntansi.

Oya, intermezo, menurut istri saya, biasanya orang teknis menanyakan hal teoritis, sedangkan orang teoritis menanyakan hal teknis. Benarkah begitu?

Thursday, December 6, 2012

Ketika Ia Bertumbuh

Dulu, sebelum nikah, gw menganggap punya anak itu ngga perlu berlebihan. Nambah gede, nambah pintar, bisa ngonong, jalan, lari-larian. It's natural. Yang aneh liat orang tua yang bangga anaknya bandel. Itu bener-bener tepok jidat.
Tapi kemarin, setelah ujian statistik yang bikin pening, dapet kabar dari istri yang baru selesai di USG. Anak gw, yg usianya sekitar 3 bulan kandungan, udah mulai terbentuk matanya, kaki dan tangannya. Oke itu natural. Tapi ketika istri bilang si Adek (kami nyebut anak kami begitu untuk sementara) bergerak menghadap monitor terus seakan senyum... WOW!! Amazing!

Seketika langsung terpesona dan lupa peningnya. Pengen buru-buru nubruk meluk istri, tapi ga bisa akhirnya nelpon doang.
Punya anak itu luar biasa.
Gw bahkan masih belum bener-bener sadar kalo bakal punya anak. Tapi kebahagiaan itu udah ada.
Kawan, menikahlah dan bikin anak. Jangan kebalik yak, kalo kebalik malah lemas lunglai denger kabar begitu.

Calon BAPAK. :)